Oleh Nurman Kholis
Zionisme adalah gerakan politik dan budaya. Modus operandinya adalah melalui penyimpangan makna berbagai istilah. Salah satu produknya adalah krisis pemahaman manusia terhadap istilah “ekonomi”, “moneter”, dan yang terkait dengan alat tukar.
Kata “moneter” berasal dari kata “money”. Menurut Jack Weatherford dalam The History of Money, “money” berasal dari kata “moneta”, nama seorang penguasa Romawi, Juno Moneta yang membimbing bermacam aktivitas negara, termasuk menerbitkan uang. Pada tahun 269 SM, bangsa Romawi memperkenalkan koin baru yang dibuat di kuil Juno Moneta, bergambar Moneta dan keluarganya. Dari kata ini muncul kata-kata Inggris mint (mencetak uang) dan money (uang).
Kata-kata seinduk dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya juga berasal dari moneta, termasuk kata Spanyol moneda, yang berarti koin. Seringnya peleburan dan pemberlakuan koin menjadikan percetakan di Kuil Juno nyaris tak berhenti beroperasi, tidak peduli pasokan emas dan perak meningkat atau tidak. Koin-koin itu mengalir dari percetakan secara konstan, dan dari kata lain curere, yang artinya “berlari” atau “mengalir”, itulah kata modern currency berasal.
Dengan demikian, pada mulanya kata “money” digunakan untuk menyebut alat tukar dari emas dan perak yang bergambar Moneta. Kedua koin ini tentu memiliki daya beli yang berbeda. Koin emas (dinar) untuk membeli barang mahal seperti kambing dan koin perak (dirham) untuk barang murah seperti ayam. Di samping itu, juga ada alat tukar selain dari emas dan perak, yaitu tembaga, besi, dan sebagainya untuk alat tukar bagi barang-barang yang lebih murah.
Istilah ”dolar” pun mengalami perubahan makna. Kata ini berasal dari bahasa Yunani thaler yang berarti ukuran nilai. Kongres Amerika dulu mendefinisikan 1 dolar sebagai kumpulan pecahan-pecahan kecil emas yang banyak jumlahnya. Kesalahan pemaknaan juga terjadi pada kata uang dan duit. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Baku karangan Budiono, uang berasal dari kata “wang” yang berarti alat pembayaran terbuat dari emas sedangkan duit terbuat dari tembaga.
Hingga saat ini dalam bahasa Malaysia masih tetap digunakan kata “wang” bukan “uang” sebagaimana dalam bahasa Indonesia. Namun, setelah hilangnya uang emas dan uang perak karena diganti uang kertas, kata “uang” dan “duit” berubah penggunaannya menjadi sebutan untuk semua alat tukar. Di samping itu, kata “uang” juga naik derajat karena digunakan untuk menyebut alat tukar secara formal, sebaliknya kata “duit” turun derajat karena digunakan dalam bahasa pergaulan.
Kata “wang” kemungkinan besar berasal dari nama Wang An-shi (1076) yang pernah mengatasi masalah keuangan kerajaan di Cina. Jadi, uang terbuat dari emas yang berasal dari China pada zaman Wang An-shi kemungkinan besar pernah beredar di Nusantara. Adapun duit berasal uang dari tembaga doit yang beredar pada masa penjajahan Belanda. Selain emas dan tembaga, di Nusantara juga beredar alat tukar terbuat dari perak. Oleh karena itu, hingga kini kita suka menambahkan kata “perak” saat menyebut nilai uang. Hal ini seperti dalam ucapan “seribu perak” meskipun uang bernilai Rp1000 tersebut dibuat dari selembar kertas.
Perubahan pemaknaan kata untuk alat tukar juga terjadi dalam literatur berbahasa Arab, seperti penggunaan kata nuqud dan fulus. Dalam literatur-literatur klasik (kitab kuning), nuqud (jamak dari kata naqd) digunakan untuk menyebut alat tukar terbuat dari emas (dinar) atau perak (dirham) sedangkan fulus (jamak dari kata fals) digunakan untuk menyebut alat tukar selain terbuat dari emas dan perak seperti tembaga, besi, dan sebagainya. Namun, i sebagaian besar umat Islam khususnya yang berbahasa Arab, kini tak dapat membedakan kata naqd (nuqud) dan fals (fulus).
Kesalahan ini salah satunya dapat dilihat pada lembaran uang kertas Real Arab Saudi. Di situ tercantum lembaga yang mengeluarkan uang kertas tersebut yaitu “Muassassatu an-Naqd al-Arabi as-Su’udi”, bukan “Muassassatu al-Fals al-Arabi as-Su’udi” meskipun lembaran real ini jelas-jelas dari kertas bukan emas atau perak. Perbedaan makna nuqud dan fulus hingga kini masih dipertahankan dalam kamus Arab-Indonesia, seperti dalam kamus Al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir.
Dalam kamus tersebut dijelaskan bahwa an-Naqdani: adz-dzahab wa al-fidlah (emas dan perak), “aflasa = lam yabqa lahu mal (menjadi tidak punya uang/harta)”, fulus as-samaki (sisik ikan), al-muflis (orang yang bangkrut). Sedangkan Abu Louis Ma’luf dalam al-Munjid fi-al-lughah wa al-a’lam menulis Al-Falsu (jamaknya Fulus): qith’atun madlrubatun min an-Nuhas (potongan yang dicetak dari tembaga), ad-dinar: dlorbun min qodim an-Nuqud ad-dzahabiyah (cetakan dari logam kuno yang terbuat dari emas), ad-dirham: qith’atun min fidhatin madlrubatun lil mu’amalah (potongan dari perak yang dicetak untuk transaksi jual beli).
Dengan demikian, ilmu ekonomi membuat milyaran manusia “mabuk” sehingga tidak menyadari makna kata-kata yang diucapkannya. Oleh karena itu, prinsip “dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya” dalam ilmu ekonomi adalah takhayul. Pertukaran kertas-kertas ”dolar” dan sebagainya dengan sekian kekayaan alam di bumi ini adalah bid’ah. Keyakinan bahwa bank akan melenyapkan riba yang berlipat ganda adalah khurafat yang diciptakan kaum Zionis Yahudi.
Salah satu korban takhayul, bid’ah, dan khurafat tersebut adalah rakyat Indonesia yang sebagian besar muslim. Akibatnya salat yang dilakukan secara turun-temurun dalam sekitar satu abad ini tidak dapat membedakan makruf dan mungkar. Ma’ruf yang berasal dari kata ’arafa (tahu) dapat diartikan ”dibuat menjadi tahu atau jelas” (oleh Allah) sedangkan munkar yang berasal dari kata ankara dapat diartikan ”dibuat menjadi tidak tahu atau tidak jelas (oleh setan)”.
Perbuatan yang dibuat jelas oleh Allah adalah pertukaran seekor kambing dengan 1 dinar (4,25 emas). Sedang perbuatan yang dibuat jadi tidak jelas oleh setan adalah pertukaran tumpukan kertas yang disihir jadi uang dengan segala kekayaan alam hingga bumi ini hilang keseimbangannya dan diambang kehancuran.
Comments 1